yang ditinggalkan

Langkah kakinya santai. Dia sedang menikmati suasana sore hari di sepanjang trotoar kawasan pertokoan. Disana juga banyak café-café kecil yang menjajakan menu-menu makanan dan minuman ringan andalan mereka. Sore itu udaranya cukup hangat, sedikit dingin. Dengan hanya memakai celana jins, baju kaos putih polos andalannya, dan kamera yang selalu dia bawa, dia berjalan menikmati suasana.


Namun, ternyata ada yang menyita perhatiannya saat dia hendak menuju café kopi langganannya. Perempuan mungil diseberang jalan itu sudah menarik perhatiannya. Perempuan yang sedang berdiri mengamati pakaian yang di pajang di etalase itu, memakai baju hangat yang dia kenali dulu. Tapi ada ragu dalam hatinya. Sambil terus berjalan menuju cafe kopi, dia memperhatikan perempuan itu lewat sudut matanya. ”apakah dia Galuh?” bisik penasaran dalam hatinya.



Setibanya di cafe kopi, dia segera memesan secangkir kopi rasa mint kesukaannya. Sang pelayan cafe sudah dia anggap seperti bapaknya sendiri, jadi dengan akrabnya mereka bertukar cerita, karena sudah sebulan lamanya, dia tak mengunjungi cafe itu. Dan sejenak perempuan itu terlupakan olehnya.


Seminggu kemudian dia dihadapkan pada pekerjaan yang sangat menyita pikiran dan energinya. Waktu begitu cepat pikirnya. Sampai dia tak menyadari sudah akhir bulan lagi. Setelah melewati hari yang padat, biasanya dia beristirahat di taman kota, yang letaknya tak jauh dari kantornya. Membidik objek yang menarik minat dan matanya. Walau hanya sekedar menikmati kerindangan pohon-pohon dan udara yang segar di taman, hati dan pikirannya sudah tenang.

Sampai pada suatu hari, dia melihat perempuan itu lagi. Perempuan yang menjadi ganjalan dihatinya selama 10 tahun lebih. Badannya bergeser untuk mendapatkan posisi terbaik agar dia bisa melihat jelas perempuan itu, yang sedang duduk di kursi taman, di sebelah kanannya. Perempuan itu sedang membaca buku, kepalanya tertunduk. Lelaki itu mengamatinya diam-diam, tetapi dia tak berani menyapanya. Banyak pertanyaan muncul di otaknya. Pikirannya bekerja dan waktupun terus berjalan. Tak dirasa sudah 1 jam lelaki itu belum melihat jelas wajah sang perempuan. Pikirannya sibuk. Melayang ke masa lalu, saat bersama dengan perempuan itu, semasa kuliah dulu. Akhirnya perempuan itu bergerak cepat sekali, sudah menutup buku, dan beranjak pergi menjauh dari kursi lelaki itu. Masih dalam ketidakberanian, lelaki itu hanya terpaku melihat punggung perempuan itu, yang menjauh darinya.
Penasaran.

Itulah yang dirasakan lelaki yang akhirnya menyesal telah melewatkan waktunya tanpa kepastian. ”Kenapa aku begitu bodoh” sahutnya dalam hati.

Sejak saat itu, lelaki itu mendatangi taman kota setiap hari. Menunggu perempuan yang ingin dia lihat dengan jelas. Membuka kembali luka lama di hatinya. Mengingat kembali masa-masa kuliah dulu, dan tak sengaja dia merekam kembali setiap momen 10 tahun yang lalu. Walau hanya sekelebat saja melihat perempuan itu, hatinya sudah tidak menyukainya. Perempuan itu berhasil membuatnya kesal. Terhanyut memorinya sendiri. Dia tersentak sadar oleh cahaya lampu taman yang tepat memantul pada matanya. Hari sudah gelap. Udara dingin sudah merayapi kulitnya.


Setiap hari pikirannya tertuju pada perempuan itu. Perempuan yang sudah mengganggu hidupnya dulu. Mengganggu ketenangannya. Mengganggu privasinya. Ada riak kebencian dalam hatinya. Sampai habis kesabarannya, akhirnya dia memilih untuk memutuskan hubungan pertemanan dengan perempuan itu. Dia memilih untuk tidak dicintai oleh perempuan itu. Dia tahu, perempuan itu sangat mencintai dia. Selalu menunggu dan mengharapkan dia. Tapi dia sangat membencinya. Ya, perempuan itu bertepuk sebelah tangan. Penantiannya sia-sia.


Tahun berganti, putaran waktu terus berjalan, dan ada sesal dalam hatinya. Entah kenapa dia ingin meminta maaf atas sikap yang dilakukannya dulu. Dia ingin memulai kembali pertemanannya. Tapi setelah sebulan lamanya dia menunggu perempuan itu di taman kota, dia tak pernah melihatnya lagi.


Lima bulan kemudian, dia mendapat sebuah email. ”Sayang, semuanya sudah siap. Aku tak sabar melihatmu disini. Yours, Sarah.” Dengan sepuluh tambahan foto dan desain undangan pernikahannya. Hatinya bergetar saat melihat wajah calon istrinya. ”Dia cintaku, dia segalanya bagiku” mantapnya dalam hati.


Dia menggerakkan jarinya. Menurunkan kursor untuk melihat foto-foto selanjutnya. Ada rangkaian bunga mawar putih yang sangat indah, ada makanan yang akan disajikan pada saat resepsi, ada rancangan desain dekorasi yang akan digunakan, sampai dia membaca kembali pesan calon istrinya, ”Sayang, bagus-bagus kan? Ayo ada masukan lagi nggak? Bunga lili pesanan kamu, desainnya sedang dikerjakan. Aku pesan dari Lisa, dia punya toko langganan khusus bunga lili. Dan ternyata yang punya tokonya kasih potongan harga buat kita! Karena katanya dia temen kuliah kamu dulu, namanya Galuh. jadi sekalian aja aku undang dia.” Dia tak percaya matanya, dia membaca ulang…. Galuh.

Perempuan itu.

Comments