Tentang Tuhan

Sebenarnya tema ini sudah lama ingin saya bagi di blog, sampai suatu hari teman saya bertanya tentang Tuhan. Representasi saya terhadap pendapatnya bahwa yang ia rasakan adalah hasrat manusia untuk mendekat kepada Tuhan, namun Tuhan baginya begitu samar, sayup-sayup, berjarak, terkadang tak menyentuh. Terkadang terasa menangkap, terkadang melepas.

Dalam ketidak-pastian itulah ia merindukan “rupa” dan “rasa” dalam berhubungan dengan Tuhan. Ia membutuhkan sesuatu yang indrawi, agar tak hanya hendak menganggap Tuhan sebagai suatu konsep, dan sesuatu yang abstrak. "Gak heran banyak yang Ateis, dan mungkin itu sebabnya larangan Tuhan di Gunung Sinai itu tak selamanya dipatuhi" begitu katanya.

Karena saya bukan ahli tentang Tuhan, maka dengan Bismillah saya mulai dari ; 
Tuhan itu terdahulu. Tidak ada yang menciptakan. 
Kalau sesuatu ada yang menciptakan itu bukan Tuhan. Sepakat ? 

DIA  berbeda dengan makhluk-Nya (Mukhalafatuhu lilhawadis)
Tidak dapat dijangkau dengan ciptaan-Nya (salah satunya : logika manusia / yg lagi hits sekarang adalah : pendekatan ilmiah).
Tidak dapat ditakar oleh apapun dan siapapun ciptaan-Nya. 
Kalau sesuatu dapat dijangkau dan ditakar, maka tidak akan ada kata Maha, karena yang terjangkau dan tertakar itu bukan Tuhan. Sepakat ?

Lalu, percaya kah akan adanya Hari Akhir. Percaya kah akan adanya Akhirat ?


Kalau ragu, atau masih galau, mari kita lihat Iman kita.

Diingatkan kembali, bahwa dalam Islam, elemen Iman diantaranya adalah Iman kepada Hari Akhir dan kepada Qada dan Qadar.
Iman kepada Hari Akhir, yaitu mempercayai bahwa kelak kita semua akan bertemu  Alam Akhirat untuk mempertanggungjawabkan segala perbuatan yang sudah kita lakukan didunia. Dan,
Iman kepada Qada dan Qadar, dimana kita mempercayai segala yang berlaku di dunia adalah ketentuan Allah semata-mata (bukan ketentuan manusia, apalagi iblis).

Menurut saya, setiap jiwa pada fitrahnya memiliki Iman. Entah itu, yang takut akan siksa Tuhan-Nya, yang malu berbuat dosa, yang hanya bergantung padaNya, yang sadar bahwa dunia ini fana, dll. Dan ya, iman itu fluktuatif, naik-turun, tidak stabil.
Kenapa Fitrah ? Karena fitrah itu wujud nyata dari pengakuan diri bahwa Allah SWT adalah Tuhan kita dan  kita hanya hambaNya tidak berkuasa atas apapun, karena Ada yang Maha mengatur, Maha memelihara seluruh ciptaan-Nya.
Bila iman sudah tertanam dan fitrah berbicara, maka tidak akan ada keraguan lagi tentang Tuhan.

Kalau kita tak bisa / tidak mampu menilai (apalagi menerima) tindakan dan keputusan Tuhan, coba tengok lagi (dengan fitrah), siapa sih kita ini ?   mo ngapain aja kita di dunia ?  tujuan hidup kita apa sih ? sampai pada," apa kabar Iman kita ? "
Karena  Iradah-Nya tak dapat ditaruh pada skala rasionalitas, dan itulah inti kritik para ateis.

Yang saya yakini, Tuhan saya adalah Allah SWT.
DIA  tidak akan pernah mendzolimi ciptaan-Nya, makhluk-Nya.
KetentuanNYA adalah pemberian yang terbaik (terbaik menurut Tuhan, bukan terbaik menurut kita - yang sering kali menjadikannya alibi untuk "menyerang" Tuhan, dan menjadikannya pembenaran-pembenaran berbungkus kehendak bahkan ego sendiri). 

Teman baik saya yang lain, pernah berujar " ...Dengan kita semua ateis pun, Tuhan tidak menjadi lemah dan jatuh kebesaranNYA. Dia berdiri sendiri, dan kekal. Jadi siapa yang butuh Tuhan ??? ... "

Ironisnya, manusia biasanya tidak pernah puas dalam menilai sesuatu yang tidak "terlihat", bahkan cenderung seperti mencari-cari "celah" untuk meragukan keberadaan Tuhan. Sungguh itu sama sekali tidak relevan, bila kita manusia menyamakan sifat kefanaan kepada Tuhan. Karena apa ? karena DIA Maha pencipta dan tiada tandinganNya. Sekali lagi, DIA berbeda dengan makhluk-Nya.


Bila masih merasa Tuhan itu samar, sayup-sayup, berjarak, dan terkadang tak menyentuh, itu bukan salah Tuhan. Ya, itu salah kita.
Boleh jadi akibat dari kurang dekatnya kita dengan Tuhan, atau kurangnya kita berdo'a dan memohon ampunanNya. Introspeksi internal.
Kenapa saya berani menilai bahwa kita yang salah ? karena saya pernah mengalaminya. Merasa "sendirian" dll. Apa obatnya ?  "Berhusnudzonlah kepada Allah SWT.." kata Ibuku. Karena dengan keyakinan itu kita bisa rasai kedekatan denganNya bahkan mendapat bahagia yang sesungguhnya. Semoga kita dijauhkan dari sifat takabur, sombong dan selalu bisa khusyuk dan bersyukur dalam keadaan apapun, karena pemberianNya adalah yang terbaik.


" Dan mintalah pertolongan (kepada ALLAH SWT) dengan Sabar dan Sholat.
Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang Khusyuk.
Yaitu orang-orang yang meyakini, bahwa mereka akan menemui Tuhan-nya,
dan bahwa mereka akan kembali kepadaNya."
[ 2 : 45- 46 ]


Hanya Allah SWT, Sang Maha Kuasa atas Segalanya.

Inilah hadist yang selalu (berhasil) membuat saya menangis,

"Bila hamba-Ku dekati-Ku sejengkal, maka Aku akan dekati dia sehasta. Bila dia dekati-Ku sehasta, maka Aku akan dekati dia sedepa. Dan apabila dia datang mendekati-Ku dengan berjalan, maka Aku akan dekati dia dengan berlari" [H.R. Bukhari]

Semoga Bermanfaat.



P.S : Yang benar hanya datang dari Allah SWT, dan yang salah hanya datang dari saya.


Comments