Kontemplasi Sakit

Bismillahirrohmaanniroohiim..

Assalaamu'alaikum warahmatullohi wabarokatuh....

Peringatan : postingan ini sangat panjang, karena isinya kebanyakan menurut opini saya pribadi, mangga kalau ada masukan ya, atau mau skip juga boleh. Terima kasih sudah mampir sebelumnya!

Selama jadi pesakitan dari sejak hampir 3 tahun lalu, saya sering bertanya sama Alloh SWT tentang arti ini semua. Layaknya sehat, sebenernya buat saya pengertian apa itu sakit gak lebih mudah dibayangkan. Karena makin sini, saya berkesimpulan kalau sakit itu sifatnya subjektif jadi definisi yang didapat juga berakhir jadi relatif. Contoh : Tekanan darting pada orangtua bisa memiliki implikasi berbeda dengan tingkat yang sama pada anak muda. Tingkat suhu punya interpretasi yang berbeda dikeduanya.  Perilaku remaja yang dianggap normal bisa dianggap penyakit pada orang dewasa. Ada sekian banyak perubahan dalam tubuh yang harus diterima sebagai proses normal dari penuaan dan bukan sebagai penyakit. 

Jadi sejak 3 taun lalu, banyak deramah kumbara variasi ruang-waktu yang hadir nemenin perjalanan saya, ya definisi, ya persepsi, kalo diceritain disini malu, kebanyakan ngeluhnya awal-awal mah hehehe.... Sebut saja (i hate this part) ; Ada masanya kita pengen disupport aja lewat semangat, ada masanya kita gak pengen ditanyain terus "kenapa" disaat kita pun gak tau darimana awal muasalnya penyakit, ada masanya kita lelah ngasih jawaban atas pertanyaan orang-orang, lelah sama tatapan kasian/iba orang, males sosialisasi, sampe akhirnya bisa bawa santai semua itu tuh diperlukan perjuangan nyelesein emosi (dulu,skrg) + mindset yang luarbyasak supaya jadi berfaedah ke diri kitanya sendiri. Maaf jadi curhat.

Balik lagi ke cerita, kalo diperhatiin penyakit sangat dipengaruhi sama kondisi budaya, lingkungan, keyakinan, sikap, dan prevalensi penyakit itu sendiri sih jadinya…. Jangan jauh-jauh deh, dari 1 rumah ke rumah yang lain aja pasti beda. Di 1 rumah, anak batpil syudah biasa, tapi di rumah lain, batpil itu diambil sebagai hal yang serius. Sampai pada akhirnya penyakit juga bisa dihubungkan dengan status sosial. 1 kelompok sosial menganggap 1 penyakit sebagai problem serius, sedangkan di kelompok sosial yang lain menganggapnya sebagai keluhan kecil semata. 

Trus trus kalo diperhatiin lagi ya, beberapa penyakit itu udah banyak yang ngalamin pergeseran klasifikasi, maknanya jadi ngeblur. Karena apa ? karna budaya dan kuatnya faktor media sosial. Contoh : homoseksual. Setengah abad yang lalu dianggepnya gangguan mental, pelakunya dicap “sakit jiwa”, namun skarang homoseksual ini diterima sebagai ekspresi seksual yang normal. Ya gak sih ? (Sebenernya balik lagi ke standar hidup masing-masing dari kita. Kalo standarnya al-Quran tentu gak ngalamin yang namanya pergeseran itu tadi.)

Jadi, fenomena skarang ini si pendefinisian penyakit pun terus bergeser, ngikutin perubahan si agen penyebab, tuan rumah, sama hadirnya penemuan ilmiah terbaru. Kerasa gak ?

Kalau definisi sakit merujuk sama kondisi medis, misal ketidaknormalan patologis dari mulai nyeri, disfungsi, kondisi luka, cacat, sindrom, dll tentulah kita mudah mengenalnya, dan biasanya kita melakukan ikhtiar dengan berobat. Di sisi lain, menurut saya penyakit gak hanya punya pengaruh ke fisik, tapi juga ke sisi emosional, bahkan sampai bisa sampai mengubah kepribadian, dan cara pandang terhadap kehidupan #inibeneranadanya. Fisik dan emosi(non fisik) ini sbenernya bisa aja berdiri sendiri, tapi besar kemungkinan mah ya saling mempengaruhi.

Pernah baca, kalau munculnya penyakit non fisik ini adalah “tidak tersalurkannya dorongan/motivasi untuk melakukan sesuatu yang ada pada diri manusia”. Kalau saya cenderung menganggap lebih ke “tidak terfasilitasinya dorongan/motivasi dari apa yang diyakini” Apa maksudnya ? Coba perhatiin aliran psikoanalisis, konsepnya motivasi manusia bersumber pada naluri kelamin (libido) dan naluri merusak (aggression). Kalau aliran Behaviorisme, motivasi manusianya bersumber dari luar berupa rangsangan. Kalau aliran Humanisme, motivasi paling dasar dari manusianya adalah kemauan untuk mengaktualisasikan diri (self actualization). Nah, kalau menurut pandangan Islam, setau saya motivasi(dorongan untuk melakukan sesuatu) paling dasar manusia adalah untuk beribadah, dengan cakupan yang luas bukan ritual semata lho yaa…. 

Dari semua aliran-aliran itu, tentu manusianya punya peluang gagal paham sama konsep yang sudah diyakini. Misal, dalam Islam, kalau gagal paham sama apa itu motivasi dasar dalam hidupnya, gak heran akan melahirkan sejumlah penyakit,... sebut saja takabur, ujub, riya, dengki, rakus, dendam, berdusta, ghibah, terlalu cinta dunia, dlsb.

Pernah baca, lupa di buku apa, kalau sesungguhnya pengembangan potensi-potensi manusia sebagai perwakilan/khalifah Alloh SWT di muka bumi itu (QS Al Baqarah : 30)  terdapat di Asma’ul Husna. Makanya kita dikenalkan konsep “Takhaluq bi akhlaqillaah”, berakhlak dengan akhlak Alloh SWT. Akhlak Alloh Ta’ala tercermin dari nama-nama-Nya yang termaktub dalam Asma’ul Husna. Contoh, Al – Quddus, Zat Yang Maha Suci. Maha Suci dalam hal apa ? salah satunya adalah Maha Suci Alloh dalam Zat dan perbuatanNya. Tidak ada satupun perbuatan Alloh Ta’ala yang cacat atau gagal. Maka, siapapun yang tidak berusaha mengenal Alloh SWT lewat nama-nama-Nya yang agung, akan rentan dengan gangguan mental dalam neurosis (kecemasan,kesedihan,fobia,hysteria,depresi) dan psikosis(epilepsi,schizophrenia). Wallahualam.

"... bagi (seorang Mukmin) kesehatan lebih baik dari kekayaan (harta benda); dan (ketauhilah bahwa) ketenangan jiwa, lebih baik dari kenikmatan apapun." (HR Ahmad, Ibnu Majah)

Jadi inget Jalaluddin Rumi di Fihi Ma Fihi, dia bikin analogi tentang perbedaan orang yang mensucikan hatinya, dengan orang yang mengotori hatinya. Redaksinya saya singkat ya (semoga gak ngurangin maknanya), kurang lebih kyk gini : “Kalau seseorang berbicara baik tentang orang lain, perkataan yang baik itu akan kembali kepada dirinya. Begitu juga sebaliknya.”

Kalo diringkas sebenernya sehat juga gak melulu anugerah, didalamnya ada amanah dan ujian. Alloh berfirman, " (Alloh-lah) yang menjadikan mati dan hidup, supaya dia menguji kamu, siapa diantara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun." (QS Al-Mulk, 67:2)

Jadi menurut saya, konsep sakit yang awalnya berkonotasi negatif, sebenarnya punya “manfaat”, kalau kita mau memahami motivasi dasar manusia tadi. Untuk apa Alloh Ta’ala menakdirkan sakit ? menakdirkan sesuatu kecuali sesuatu itu ada tujuannya, ada manfaatnya, ada hikmahnya. Ya mungkin hikmahnya gak bisa langsung brasa saat itu juga, tapi saya selalu coba mikirnya gini : mungkin lewat ketidaknyamanan ini justru lebih mendekatkan saya dengan Alloh SWT. 

Apalagi dalam konsep Islam, setau saya sakit itu tidak melulu berkonotasi buruk, apabila disikapi dengan benar. Dengan sakit, kita bisa mengistirahatkan diri dari beragam aktivitas yang biasanya menyita waktu, tenaga, pikiran. Dengan beristirahat, kita dapat mencegah hadirnya mudarat. Dengan sakit, kita bisa banyak merenung, bermuhasabah diri, mengingat Alloh SWT, banyak inget dosa, dikasih waktu untuk banyak bertobat, dan dengan sakit, kita lebih sering ingat kematian. Dengan sakit, kita dilatih untuk bersabar. Dengan bersabar, sakit yang diderita akan menggugurkan dosa-dosa kita “almaradh kaffaarat ‘an al-ba’adhi zhunuubi” hadirnya ampunan dan kasih sayang Alloh Ta’ala. Dengan sakit, boleh jadi Alloh SWT tengah menjauhkan dan menghindarkan kita dari beragam hal yang membahayakan (berhusnuzon kepada Alloh SWT pas lagi sakit itu emang susah, tapi bukan brarti gak bisa). Dengan sakit, kita jadi lebih dekat dengan keluarga, ketemu sodara, temen, tetangga yang nengok. Buat saya, yang paling “kena” adalah, dengan sakit, kita disadarkan akan lemahnya diri kita dihadapan Zat Yang Maha Kuasa, Penggenggam langit dan bumi.

Ada beberapa Ustadz yang bilang, sakit itu boleh jadi adalah tanda cinta dari Alloh kepada hamba-Nya yang taat. Dia ingin dengan sakitnya tersebut, sang hamba bisa lebih mendekat kepada-Nya. “Sesungguhnya pahala yang besar didapatkan melalui cobaan yang besar pula. Apabila Alloh mencintai seseorang, maka Alloh akan memberikan cobaan kepadanya, barangsiapa yang ridha (menerimanya) maka Alloh akan meridhoinya, dan barangsiapa yang murka (menerimanya) maka Alloh murka kepadanya.” (HR Tirmidzi). Alloh SWT ngasih ujian berupa sakit juga untuk mengetahui siapa diantara manusia yang paling baik amalnya, dan paling sabar dalam menjalaninya (Jadi inget kisah nabi Ayyub a.s gak sih ?)

Ada hadist yang selalu bikin saya semangat, “Cobaan akan selalu menimpa seorang mukmin dan mukminah, baik pada dirinya, pada anaknya, maupun pada hartanya, sehingga dia bertemu dengan Alloh tanpa dosa sedikit pun.” (HR Tirmidzi, Ahmad). Kalau kata ustadz Athian Ali “Mana ada seorangpun Nabi yang hidupnya tanpa cobaan, ada Nabi yang santey kek dipantey ? Euweuhhh….(gak ada) apalagi kita manusia biasa…. Makin mantap keimanan seseorang, akan semakin berat pula ujiannya.”

Pernah baca juga, bahwa ada sakit sebagai hukuman. Biasanya lahir dari konsekuensi kemaksiatan, ketidaktaatan yang diperturutkan. Misal, AIDS akibat perzinahan, dlsb. Walau judulnya ‘hukuman’, boleh jadi penyakit yang menggerogoti tubuh adalah hukuman yang disegerakan di dunia, disebabkan tumpukan maksiat, dan tidak bersegera untuk bertobat. Dalam sebuah hadis dari Anas bin Malik, Rasululloh saw bersabda, “Jika Alloh menginginkan kebaikan pada hamba, Dia akan segerakan hukumannya di dunia. Jika Alloh menghendaki kejelekan padanya, Dia akan mengakhirkan balasan atas dosa yang ia perbuat hingga akan ditunaikan pada hari kiamat kelak.” (HR Tirmidzi, No. 2396).

Trus keingetan kajian minggu lalu, ustadz Athian Ali bilang “Coba perhatikan kalau Alloh SWT mengharamkan sesuatu, bahasa seruannya bukan, misal ‘SAYA HARAMKAN PEZINA/PEMABUK’ tapi bahasa seruan yang dipakai Alloh SWT adalah ‘JAUHILAH…’ atau ‘JANGAN DEKATI…’ Karena apa ? Karena kalau yang pertama dipakai, yang berdosa hanya PEZINA/PEMABUK saja, sedangkan yang nyediain tempat, yang memberikan fasilitas tidak berdosa. Maka dari itu, kita jangan mendekati, harus menjauhi apa yang sudah diperintahkan Alloh SWT. Karena memang Alloh SWT memberi kecenderungan pada manusia untuk berbuat dosa”

Kalau diperhatiin lagi, menurut saya Islam gak hanya sekedar memerintahkan untuk menjaga dan memelihara kesehatan. Tapi juga ngasih kita tuntunan yang paripurna tentang bagaimana cara menjaga dan memelihara kesehatan, yang teraplikasikan dalam sejumlah perintah dan larangan yang termuat di Al-Quran dan sunnah Rasululloh saw. Maka, segenap tata peribadatan dalam Islam yang bersifat mahdhah khususnya, kalo diperhatiin, semuanya mengandung unsur “pembersihan”, “pensucian”, dan “pengobatan” dari eksistensi diri manusia (lahir,batin,jasmani,rohani) semuanya berujung pada kesehatan yang menyeluruh.

Bagi jiwa yang terang, sakit adalah hikmah. Sakit itu memperbaiki akhlak, terkikisnya kesombongan, sifat tamak dipaksa tunduk, pribadi dibiasakan santun, lembut dan tawadlu. Pada akhirnya sakit selalu berhasil membawa kita untuk selalu ingat mati.

Dan yang gak kalah pentingnya adalah penerimaan kita terhadap penyakit yang sedang kita alami. Proses penerimaan totalnya pasti makan waktu. Tapi semoga sensor kemampuan kita mengingat Alloh SWT dan mau memilih untuk bersyukur, berikut seluruh konsekuensi dan implementasinya gak berkurang ya… Semoga setiap prosesnya mendewasakan pola pikir & sikap kita, semoga setiap usaha dijadikan amal sholeh yang pahalanya berlipat ganda oleh Alloh SWT, semoga disegerakan memahami arti dan hikmahnya, dikuatkan kesabarannya, dimampukan jalanin setiap prosedurnya, dimudahkan segala urusannya, diangkat segera penyakitnya, aamiin.  “Alaa bi dzikril-laahi tathma’innul quluub”(QS Ar-Ra’d, 13:28)


Semoga bermanfaat. 




Comments