Review Buku "Bandung Purba"

Sebenernya udah lama banget pengen sharing bacaan ini, terbit bukunya aja taun 2012 ! heuheu.... Bagi saya ini buku layak punya, skalian bisa jadi bahan cerita ke anak-anak.



Pertama kali kenal dengan penulisnya sekitar tahun 2008, waktu itu saya ikutan geotrek dengan beliau ke Kars Rajamandala, Pasir Pawon, Goa Pawon, dan sekitarnya.... nama beliau adalah Bapak T. Bachtiar, panggilan terkenalnya pak Bach. Beliau banyak menulis di media massa dan sudah banyak menyunting buku. Orangnya someah, bageur, ramah, jelasin detail walo kita nanya geje jugak... hihihi...



Buku Bandung Purba, Panduan Wisata Bumi, ini sarat sejarah terutama tentang Geologi. Bahasa yang digunakan ringan, mudah dipahami, alurnya seperti kita sedang membaca cerita. Buat yang gak begitu suka sejarah, coba baca ini deh, enakeun pokonya kyk lagi didongengin.

Bagian pertama Buku ini bercerita tentang Bumi Bandung Zaman Baheula. Bumi Bandung ini berada di kuali raksasa Cekungan Bandung. Ke dalam cekungan ini mengalir sungai-sungai yang bersumber dari gunung-gunung yang berada di pinggiran kuali raksasa tersebut, lalu sungai-sungai itu berbelok mengalir ke arah baratlaut, sesuai arah kemiringan wilayah ini. Suhu rata-ratanya adalah 22,7 C. Tanah vulkanis yang subur dengan air yang mengalir dari sumber-sumber mata air (air seke atau cinyusu) menyebabkan tanah-tanah di Cekungan Bandung didominasi oleh persawahan dan kolam.

Kalau kita lihat ke arah utara, ada Gunung Burangrang, Gunung Tangkubanparahu, Bukit Tunggul, dan Gunung Putri. Sebelah timurnya ada Gunung Manglayang, di selatannya ada Gunung Patuha, Gunung Tilu, Gunung Malabar, dan Gunung Mandalawangi. Di bagian tengah ada rangkaian gunungapi tua, dan di barat dibentengi rangkaian bukit-bukit kapur Rajamandala. 'Bandung dilingkung Gunung' itu benar adanya.






Cerita sedikit, kalo pak Bach lagi cerita, bawaannya sering neureleng ke masa silam... "Bila waktu diputar mundur..." itu ibaratnya mantra seorang pak Bach kalau nerangin seluk beluk Bumi.

Nah, skarang coba kita mundur 30 - 25 juta tahun yang lalu, saat itu Pulau Jawa belum muncul secara utuh, buktinya adalah perbukitan kapur di Citatah, Rajamandala. Di sana terus terjadi proses pengangkatan kerak bumi, sehingga Pantai Utara Pulau Jawa berada pada titik Pangalengan. Gak salah baca koq... PANGALENGAN !

Di buku ini juga dijelasin gimana proses terbentuknya Ci Tarum Purba dari Gunung Sunda, dari perubahan geomorfologinya sampai menyebabkan terbentuknya Situ Hyang, atau sering dikenal dengan nama Danau Bandung Purba. Dan kebayang gak sih ternyata gajah, badak, dan tapir pernah menjelajah di lembah Ci Tarum ! Disana ditemukan juga fosil gigi Kuda Nil. Menurut Dr. G.R.H von Koeningswald (1939) melaporkan di sisi Ci Tarum, daerah Banuraja lokasi penemuannya itu yang sebagian terendam Danau Saguling, di sana terdapat fosil gigi tapir. Binatang-binatang itu datang ke Cekungan Bandung ketika Paparan Sunda menjadi daratan yang bersatu dengan Asia.
Ada juga cerita tentang Patahan Lembang. Saat ini, Patahan Lembang merupakan patahan aktif berupa rangkaian perbukitan yang melintang dari timur ke barat, lebarnya sekitar 300 meter, dan panjangnya 22 km. Oya, dan ternyata goa atau sungai bawah tanah yang besar, terkenal dengan sebutan Sanghyangtikoro itu BUKAN tempat bobolnya air Danau Bandung Purba. Di sini kita jadi tau beberapa hal darimana asalnya curug-curug, kawah-kawah disekitaran Bandung.




Kalo ngomongin Kars Rajamandala, mundur yuk ke 27 juta tahun yang lalu....
konon itu jaman Tersier Kala Oligosen, pulau jawa belum muncul, masih berupa lautan. Nah, perbukitan kapur Citatah ini dulunya (selama jutaan tahun) merupakan DASAR LAUT DANGKAL. Tumbuhnya binatang koral, membentang menyerong dari Tagogapudi Padalarang hingga Teluk Palabuhanratu sekarang. Mau lihat buktinya ? masih ada sampai skarang lho !
Di sisi utara terdapat Gunung Masigit dan Pasir Pawon. Dulu disana air melimpah keluar dari mata air yang berjajar di kaki bukit itu. Sangat disayangkan saat ini mata air itu sudah menghilang, hanya tersisa satu di sisi utara Pasir Pawon, itu pun debitnya mulai mengecil.

Di buku ini juga ada cerita tentang Karangpanganten di padalarang dalam catatan van der Pijl tahun 1933, yang paling tidak sampai tahun 1937 masih merupakan hutan kawasan kapur, skarang mah udah musnah. Van der Pijl ini banyak nulis tentang tumbuhan di Jawa Barat. Beliau melakukan penelitian dan mengklasifikasikan ekologi menjadi 5 kelompok. Betapa cepatnya kehancuran oleh tangan-tangan manusia ya... Taun 1933 masih berupa hutan kawasan kars/kapur, taun 2003 kawasan ini sudah hancur berantakan, bermunculan pabrik-pabrik kapur, batu kapurnya dikeruk untuk berbagai kepentingan.

Ada juga cerita tentang Pasir Pawon yang terdapat kerangka manusia purba di dalam Guha Pawon. Waktu saya kesana, tengkoraknya masih asli (bukan replika). Ada juga cerita tentang Gunung  Malabar, Patuha, Gunung Hawu, Guha Bancana, Gunungapi Purba Manglayang, Sanghyangpoek di Rajamandala, Sanghyangtikoro (tikoro = kerongkongan), Sanghyangkenit ( 545 meter dari Sanghyangtikoro), Gunung Jayagiri, Gunung Wayang, Gunungapi Purba Selacau (lahirnya 4juta tahun yang lalu), trus Gunungapi Purba Lagadar dengan tiang-tiang batu heksagonalnya, ada lagi Gunungapi Purba Patenggeng lengkap dengan proses terbentuknya sumbat lava.

Juga ada cerita tentang Kaldera Purba Nagreg, yang ternyata dalam 3 Kamus Basa Sunda, tidak terdapat lema nagreg dan nagrog, yang hanya ada lema nagrag dan nagrak. Nagrag dan nagrak dipakai untuk menggambarkan kawasan yang lahannya kering dan gersang. Lema nagreg terdapat dalam Kamus bahasa Sunda yang disusun oleh Jonathan Rigg, terbit 1862. Disitu tertulis, nagreg mempunyai arti yang sama dengan nagrag dan nagrak. Ada juga cerita tentang Taman Lava Batu Karembong Dayang Sumbi di Ci Kapundung, Taman Lava di lembah Ci Mahi, Ci Beureum, Ci Hideung.

Disini tertulis juga secara rinci tentang Onomastika. Onomastika adalah  ilmu yang menyelidiki tentang asal-usul dan arti nama. Karena banyak nama-nama tempat di Cekungan Bandung yang menggunakan kata situ, ranca, empang, bojong, dan tanjung. Situ dan ranca berarti rawa. Sedangkan, bojong dan tanjung berarti bagian tanah yang menjorok ke air. Ada 18 tempat yang menggunakan kata situ(Situgunting, Situaksan, Situbolang,dll). dan 14 tempat yang menggunakan kata tanjung(Tanjungsari, Tanjungjaya, Tanjungwangi,dll), dan 96 tempat yang menggunakan kata ranca(Rancakendal, Rancamanyar, Rancakalong,dll). Dan 80 tempat yang menggunakan kata bojong(Bojongkacor, Bojongsoang, Bojonghaur,dll). Ada cerita lucu juga, pernah denger ada tempat namanya Rancabaeud sama Rancabusiat gak ?? hahahahha!

Ada cerita epik juga tentang pohon Loa di sepanjang Ci Tarum, dan dari situlah daerah penamaan Bojongloa, Sekeloa berasal. Ada cerita tentang Budaya Tarum. Pada masanya Tatar Sunda adalah penghasil tarum yang potensial. Tarum disini sebagai obat penyubur rambut, dan obat sakit perut, itu yang ditulis Heyne (1927). Jadi gak heran juga kan kalo disini banyak nama yang menggunakan kata Tarum (Ci Tarum, Pataruman, dan kerajaan yang bertahan selama 12 generasi, Tarumanagara).

Ci Tarum adalah sungai yang melintasi Cekungan Bandung 135.000 tahun yang lalu. Terbendungnya material letusan Gunung Sunda di utara Padalarang hingga membentuk Danau Bandung Purba. Di lembah sungai ini banyak fosil(Dalam tulisan J.A. Katili, 1962). Contohnya di selatan Rajamandala ditemukan fosil badak, kijang, kudanil, serta geraham gajah utuh di kedalaman 6 meter di kawasan Rancamalang- Kabupaten Bandung(Ditemukan secara tidak sengaja oleh Iman Rismansyah saat akan memperdalam sumur di rumahnya).

Juga ada cerita tentang Kendan, yaitu tambang Purba Bandung juga sebagai pusat kerajaan wilayah Tarumanagara. Dan cerita tentang penemuan-penemuan di perbukitan di pinggiran bekas Danau Bandung Purba, seperti di Gunung Sadu, Gunung Singa di Soreang.

Gak kalah menarik ada juga istilah-istilah serta penjelasan detail tentang perilaku perang dalam naskah, Sanghyang Siksakandang Karesian. Istilahnya unik-unik, contohnya ; Katrabihwa adalah posisi prajurit saat menyerang musuh; Sucimuka adalah upaya pembersihan musuh setelah perang usai; Asumaliput adalah setiap prajurit harus mengetahui tempat kemana akan berlindung; Kudangsumeka adalah cara-cara menggunakan pedang yang lebih kecil; Ngalinggamanik adalah prajurit-prajurit yang sudah terlatih lalu dipersenjatai dengan senjata-senjata rahasia/ senjata keramat kerajaan. Dan masih banyak lagi. Ada juga cerita tentang Parit Pertahanan (marigi/nyusuk) Kuna di Selatan Bandung.

Terakhir, catatan perjalanan dari Bapak T. Bachtiar dan Ibu Dewi Syafriani ini cocok jadi koleksi antik dirumah anda.

Terima kasih sudah sudi membaca review ala kadarnya ini... semoga bermanfaat ya !


Comments