Ilmu Tajwid #2

 Hukum Mengamalkan Ilmu Tajwid

Mengenai hukum mengamalkan ilmu tajwid yang dimana penjelasan hukumnya sama dengan hukum lahn khafiy yang para ulama berbeda pendapat didalamnya.

Para ulama berbeda pendapat tentang hukum beriltizam (komitmen dan konsisten) dengan tajwid, mereka membaginya menjadi tiga:

Pertama, hukumnya wajib.

Beberapa ulama berpendapat bahwa mengamalkan seluruh hukum tajwid adalah wajib bagi orang yang membaca Al Qur-anul Karim. Sehingga orang yang meningalkannya berdosa.

Berdasarkan perintah Allah subhanahu wa ta'ala:  

 وَرَتِّلِ ٱلۡقُرۡءَانَ تَرۡتِيلًا  ٤

“Dan bacalah Al Quran itu dengan perlahan-lahan.” (QS. Al Muzammil [73]: 4)

 Yaitu maksudnya dengan tajwidnya.

 

Kedua, hukumnya tidak wajib.

Para ulama lainnya berpendapat bahwa tidak wajib mengamalkan hukum-hukum tajwid ketika membaca Al Qur-anul Karim. Alasannya adalah hal tersebut sangat memberatkan kaum muslimin, sedangkan Allah subhanahu wa ta'ala  berfirman 

 

 وَمَا جَعَلَ عَلَيۡكُمۡ فِي ٱلدِّينِ مِنۡ حَرَجٖۚ   ٧٨

“Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan” (QS Al Hajj [22]: 78)

 

Ketiga, hukumnya antara dua pendapat di atas.

Sebagian ulama memiliki pendapat yang pertengahan dalam hal ini. Mereka memperinci hukum-hukum tajwid sebagai berikut:

1. Dari sisi makharijul huruf (tempat keluarnya huruf)

Beriltizam dengannya wajib sehingga melalaikan dan meninggalkannya haram secara mutlak. Seperti mengubah bacaan huruf ha (ح) dengan huruf (ه) atau (خ) pada  الحَمْدُ 

2. Dari sisi shifatul huruf, dibagi menjadi dua:

- Sifat wajib

 Apabila sifat ini berubah maka ia akan mengeluarkan huruf dari hakikatnya. Hukum beriltizam dengannya wajib, dan meninggalkannya haram secara mutlak. Seperti menebalkan huruf  ta (ت)  pada (الْمُسْتَقِيم) menjadi huruf (ط) yaitu (الْمُسْطَقِيم) . Ini tidak boleh, sehingga hukumnya wajib berkaitan dengan sifat ini.

- Sifat penghias

Adapun sifat penghias, seperti menipiskan huruf ra yang berharakat fathah dan dhammah, contohnya: (الرَّحْمَنِ الرَّحِيم) maka hukumnya terbagi menjadi dua, yaitu:

a. Apabila qiraahnya dalam rangka talaqqi (belajar langsung dari guru), maka hukumnya wajib menghindari lahn khafiy dan tidak boleh (haram) secara mutlak sengaja melakukannya walaupun tidak merusak makna, karena maqam (kedudukannya) di sini adalah maqam riwayat, sedangkan lahn khafiy merupakan kedustaan dalam riwayat.

b. Apabila qiraahnya dalam rangka tilawah biasa, maka hukumnya tidak wajib. Namun dalam hal ini terbagi menjadi dua, yaitu:

- Jika seorang qari adalah orang yang mutqin (mahir) dan mengerti hukum tajwid, maka tercela bagi dirinya membaca Al Qur-an dengan tidak memakai hukum-hukumnya.

- Jika seorang qari adalah orang awam, maka in Syaa Allah tidak mengapa, karena dia meninggalkan sifat-sifat hiasan (tazyiniyah tahsiniyyah) yang tidak mengeluarkan huruf dari tempatnya serta tidak merusak makna.

Wallahu a’lam.

Comments